Friday, June 29, 2012

Chatuchak, Bangkok, Thailand


Chatuchak Weekend Market
Mau melihat model pengaturan PKL yang apik dan bisa untuk cuci mata? Datang saja ke Chatuchak Week End Market di Bangkok. Lokasinya berada pada lot (kawasan) yang luas di dekat stasiun bus dan perhentian BTS (sky-train) Mo-Chit.
Perhentian yang disebut terakhir itu menghubungkan jaringan BTS ke pusat kota seperti National Stadium atau Silom, berdekatan dengan kantor Land Transportation Department (serupa DLLAJR) Bangkok di kawasan Thanon Champhaeng Pet. Kalau naik taksi atau tuk tuk, itu lebih praktis karena kita akan diantar hingga ke depan gerbang pasar Chatuchak.
Pasar tersebut memang dirancang khusus untuk mewadahi para PKL dalam memperoleh sarana untuk menjual barang dagangannya. Di sana dijual beragam komoditas seperti ikan segar, ikan kering hingga barang pecah belah dan elektronik. Tapi yang paling banyak adalah barang fesyen (pakaian, sepatu, aksesoris) dan makanan.
Sebagai pasar akhir pekan, pada hari kerja lokasinya berubah menjadi lahan kosong yang dimanfaatkan untuk area parkir. Jadi memang benar-benar pasar untuk menampung PKL pada Sabtu pagi hingga Minggu malam dengan tendanya yang siap dibongkar pasang alias tidak permanen dan diangkut pulang (tidak boleh dititipkan di suatu tempat di kawasan pasar). PKL-nya sangat tertib dan sadar lingkungan.
Saya membayangkan seandainya pasar akhir pekan di kawasan Simpanglima Semarang ditata ulang dengan mencontoh konsepsi Chatuchak. Dalam hal ini, peran dan komitmen pemerintah dan para stakeholder sangat dinantikan para PKL dan masyarakat.
Kembali ke Thailand, komitmen pemerintah (baca: kerajaan) di sana terhadap kelangsungan hidup rakyatnya seperti petani, nelayan, perajin dan PKL sangat tinggi. Walhasil, semangat untuk mempromosikan produk lokal sangat aktif.
 
Kabarnya, dominasi produk lokal di pasar Thailand rata-rata mencapai 90% berasal dari dagangan PKL. Apalagi pemerintah Thailand mencanangkan konsepsi ”one village one product” (satu desa mempunyai satu produk unggulan) sejak 2004 yang gencar dipromosikan di media masa termasuk ke CNN.
Kebijakan tersebut mendorong kemunculan keanekaragaman produk pertanian dan perikanan unggulan serta pengayaan produk kerajinan yang inovatif. Dengan demikian terjadilah gerakan peningkatan produktivitas secara bersama-sama pada hampir semua desa dan ini membawa dampak pada peningkatan pendapatan perseorangan masyarakat dan pendapatan daerah. Kebijakan seperti itu sudah ditiru di beberapa tempat di Indonesia dan perlu ditangani secara serius supaya kita dapat mengejar ketinggalan Thailand sebagai ”teman sepermainan” Indonesia pada era 1980-an.
Tak termungkiri, Thailand memiliki banyak sekali makanan tradisional yang khas dan eksotis. Banyak makanan yang diracik dengan dekorasi menarik. Bila kita menyusuri trotoar di sepanjang jalan di Thailand, maka di kiri kanan kita pastilah banyak gerai penjaja makanan, minuman, dan buah-buahan segar.
Kebanyakan bebuahannya segar, dikupas, dan dikemas dengan bentuk yang menarik. PKL makanan memasak menu dengan rempah khas yang maknyus seperti som tam, tom yam, dan banyak lagi lainnya. Itu semua dilengkapi dengan lalapan aneka daun yang segar. Wah, tak terasa kita harus mendegut air liur karena ingin cepat-cepat mencicipinya. Belum lagi jajanan pasarnya yang mungil-mungil dan cantik dengan warna-warna menarik. Betul-betul surga makanan.
 
Selain itu, pakaian dan aksesoris yang dijual di tepi jalan juga sangat fashionable alias bergaya butik, terutama untuk pakaian wanita. Bagaimana dengan busana untuk laki-laki? Sepertinya produk-produk yang banyak diperjualbelikan para PKL di sepanjang jalan, juga di mal di kota-kota besar di Thailand lebih banyak memanjakan kaum wanita.
Bagaimana dengan penampilan para PKL di sana? Banyak dari mereka adalah anak-anak muda dengan penampilan yang trendi, baik busana maupun gaya rambutnya. Bagi mereka, tak ada gengsi-gengsian. Apalagi menjadi PKL tampaknya memiliki gengsi tersendiri sehingga mereka tampil percaya diri. Mereka membentuk komunitas yang rapat dan kompak sehingga mampu untuk maju bersama.
Para penjaja makanan di sepanjang trotoar di Thailand biasanya akan menutup lapaknya pada sekitar pukul 23.00. Dan kalau dihubungkan dengan bagaimana mereka berpenampilan, ada sesuatu yang dahsyat kalau kita mencermati mereka. Bayangkan, seusai berjualan, para PKL, khususnya yang perempuan masih menyempatkan diri untuk membersihkan kuku, tangan dan kakinya (manicure dan pedicure). Hmm..
 
Tentu saja bukan cuma soal makanan saja yang menarik di Bangkok. Beberapa tempat yang sering direkomendasikan, baik oleh orang-orang yang pernah ke sana maupun agen wisata, antara lain Grand Palace (salah satu istana raja dengan bangunan khasnya yang dilapisi dengan emas dan potongan kaca), patung Sleeping Buddha Wat Poo yang berukuran besar, Kuil Wat Arun (dan beberapa kuil lain), pasar-pasar terapung, dan peternakan buaya di pinggiran kota (Samut Prakan). Semua itu menjadi ikon wisata Bangkok.
Selain tempat-tempat itu, ada satu lokasi yang seolah-olah ”wajib” didatangi. Yakni, Patpong, suatu lokasi wisata malam yang menjadi lokomotif penggerak utama industri pariwisata Thailand sejak lama.
Kehadiran sungai Chao Phraya yang terkenal sebagai River of Kings (Sungai Para Raja) yang membelah kota Bangkok mempunyai makna tersendiri bagi perekonomian dan mata rantai ekosistem yang sangat beragam. Sungai tersebut mengalir dari utara ke selatan dan bermuara di Teluk Thailand. Untuk perbandingan saja, lebar sungai tersebut mungkin sekitar 8 hingga 10 kali lebar sungai Banjir Kanal Barat, Semarang. Ini estimasi kasar karena sungai Banjir Kanal dari hari ke hari terus menyempit.
Betapa pentingnya sungai tersebut bagi kota Bangkok. Tak hanya untuk transportasi air, sungai tersebut juga memiliki arti yang sangat penting untuk perekonomian. Lihat saja, dari pagi hingga malam dan kembali ke pagi lagi tanpa pernah terputus, aktivitas ekonomi dan lingkungan senantiasa mengalir bersamaan dengan arus air ke laut.
Kapal tongkang yang menyemut berarak-arak mengangkut beras dari lumbung-lumbung padi, buah-buahan serta hasil bumi Thailand lainnya untuk dikapalkan. Ada juga arak-arakan tongkang yang mengangkut pasir dan tanah kerukan delta dari muara melawan arus aliran sungai, dan juga ratusan tongkang minyak. Itu masih ditambah lalu lalang kapal penumpang yang beragam jenisnya, dari feri sampai jukung kecil. Yang pasti, ada banyak hal yang bisa kita nikmati di Bangkok.
 

Perjamuan di Atas Sungai
Wisatawan yang memanfaatkan Sungai Chao Phraya sebagai objek wisata sangat bervariasi, bahkan boleh dikatakan segmentasinya beragam. Yang jelas dari seluruh lapisan masyarakat, mulai dari golongan bawah hingga yang jetset.
Dari mata hari terbit hingga terbenam sungai tersebut banyak diseberangi untuk wisata ke objek-objek yang berada di kanan dan kiri sungai seperti Wat Arun, Wat Poo dan Grand Palace.
Keistimewaan wisata sungai yang dikembangkan di situ terutama bisa dijumpai dengan adanya kapal pesiar yang mengarungi sungai pada siang hari.
Suasana akan semakin semarak di malam hari, khususnya di kapal pesiar. Banyak penyedia jasa wisata yang membuka layanan makan malam (gala dinner) di atas kapal pesiar sekaligus melakukan penjelajahan sungai dengan kapal tersebut. Perjalanan malamdi atas perairan di tengah-tengah kota Bangkok sembari menikmati angin Siam pasti memberikan pengalaman yang tak terlupakan bagi yang mengalaminya.
Kebetulan saya mendapat undangan gala dinner bersama sekitar 20 orang di kapal pesiar Bangkok Riverside. Kapal itu lumayan mewah. Bentuknya seperti Titanic dengan tiga dek dan geladak. Tak hanya berfungsi sebagai kapal, ini juga merupakan restoran terapung yang bisa memuat sekitar 500 orang. Malam itu, perjalanan menjelajahi Chao Phraya dimulai pada pukul 19.00 dan akan berakhir pada 21.00 waktu setempat. Begitu banyak kapal pesiar yang berfungsi sebagai restoran apung di perairan tersebut.
Selama berjalan itu, setidaknya ada 10 kapal pesiar yang berpapasan dengan kapal yang kami tumpangi. Itu belum menghitung restoran apung yang lebih kecil. Kalau setiap hotel di tepi Chao Phraya mempunyai 1 atau 2 kapal pesiar untuk mengangkut tamu-tamunya, hitung saja berapa. Padahal jumlah hotel di situ puluhan.
Jadi, begitu padatnya arus lalu lintas sungai Chao Phraya. Berapa kira-kira uang yang masuk dari tempat itu? Mungkin dalam sehari bisa mencapai miliaran baht. Itu kemungkinan yang masuk akal.
Sebab, saya melihat setiap kapal yang berpapasan dengan kapal kami selalu penuh orang. Jadi, memang begitu hebatnya jaringan kerja para pebisnis wisata di Bangkok dalam menggaet tamu-tamunya. Bagaimana dengan Indonesia yang jelas-jelas memiliki ratusan sungai besar dan kecil dan tak kalah menariknya dengan Chao Phraya? Ini tantangan bagi kita, khusus dalam pengembangan wisata air.
 


sumber: Kaskus
(untuk dokumentasi pribadi)
and you know what, I'm super excited to be there in this September 2012! :D