Sunday, November 28, 2010

Autisme

Beberapa tahun belakangan ini, terjadi kenaikan yang cukup mengkhawatirkan pada jumlah penyandang autisme. Persoalan ini dinilai cukup penting, bahkan sejak tahun 2008 silam, PBB telah menetapkan tanggal 2 April sebagai World Autism Awareness Day atau Hari Peduli Autisme Sedunia, ini menunjukkan bahwa dunia peduli dan tidak memandang sebelah mata mengenai hal ini. Istilah autisme tentunya sudah bukan merupakan hal yang jarang terdengar di telinga kita, juga tak jarang dijumpai dalam media cetak ataupun internet. Mungkin kita sendiripun pernah mengucapkan istilah ini. Namun, apakah sebenarnya kita telah benar-benar mengenali istilah ini?

Autisme merupakan gangguan perkembangan pada anak yang berakibat tidak dapat berkomunikasi, serta tidak dapat mengekspresikan perasaan dan keinginannya, sehingga perilaku hubungan dengan orang lain terganggu. Autisme sering juga disebut sebagai suatu spektrum, yaitu Gangguan Spektrum Autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD). Gangguan ini meliputi perkembangan pervasive, yang ditandai dengan keterlambatan atau gangguan dalam bidang sensori, emosi, tingkah laku, komunikasi, dan interaksi sosial.

Istilah autisme sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu 'auto', yang berarti sendiri. Hal ini karena, jika kita perhatikan, maka akan terkesan bahwa penyandang autisme seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Pemakaian istilah ini awalnya diperkenalkan pada tahun 1943 oleh seorang psikiater dari Harvard yang bernama Leo Kanner, dalam tulisannya yang berjudul Autistic Disturbance of Affective Contact. Walaupun jika dilihat dari berbagai bukti yang ada, gangguan ini telah ada sebelum istilah tersebut diperkenalkan.

Istilah autisme di Indonesia baru mulai cukup dikenal sejak tahun 1990-an. Karena kurangnya informasi yang ada, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang menganggap autisme sebagai suatu penyakit yang dapat menular, mengerikan, bahkan ada yang menyamakannya dengan down syndrome. Sebenarnya, autisme bukan merupakan penyakit seperti flu, demam, dan sebagainya. Oleh karena itu, sebutan yang disarankan adalah ‘penyandang’ autisme, bukan ‘penderita’ autisme. Barang kali ada di antara kita yang bertanya-tanya, apakah penyandang autisme bias sembuh? Sebenarnya, kata ‘sembuh’ kurang tepat untuk digunakan dalam hal ini, karena seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa autisme bukanlah merupakan suatu penyakit. Keadaan penyandang autisme cukup variatif, ada yang gejalanya dalam taraf relatif sedikit sampai sangat banyak. Gangguan-gangguan yang ada pada diri para penyandang dapat diminimalisir dan memaksmimalkan hal-hal yang positif. Banyak penyandang autisme yang telah berangsur-angsur membaik sampai hampir tak terlihat adanya gangguan, namun ada juga yang masih terlihat memiliki gangguan hingga dewasa.

Belakangan ini, istilah autisme atau autis sudah banyak sekali digunakan oleh berbagai kalangan di Indonesia. Namun, sangat disayangkan, istilah ini malah menjadi berkonotasi negatif. Mungkin Anda pernah mendengar orang menggunakan istilah ini untuk dijadikan lelucon, atau untuk menghina orang lain dengan kalimat semacam ini, “Dasar autis lo!” Hal ini cukup memprihatinkan, masyarakat terkesan seperti mendiskriminasi para penyandang autisme. Tak jarang juga masyarakat memperlakukan para penyandang autisme dengan memberikan belas kasihan dan perlakuan istimewa yang berlebihan, namun sebenarnya bukanlah hal tersebut yang merupakan tindakan terbaik untuk mereka. Para penyandang autisme dan keluarganya lebih mengharapkan adanya pengertian, sikap dan pandangan yang positif, kesempatan yang memadai, serta perilaku yang wajar dari masyarakat.

Selain itu, cukup banyak orang yang menganggap bahwa autisme dikarenakan oleh kesalahan orang tua dalam mendidik ataupun kurangnya kasih sayang yang diberikan, namun asumsi tersebut tidaklah benar. Gangguan ini bisa terjadi pada siapapun tanpa memandang suku, ras, ataupun status sosial ekonomi. Penyebab gamblang dari autisme sampai saat ini masih dalam penelitian para ahli, karena merupakan gabungan dari beberapa faktor yang kompleks. Gabungan dari kerentanan genetik yang merupakan predisposisi dan faktor pencetus yang berasal dari lingkungan. Kerentanan genetik bukan berarti sesuatu yang diturunkan dari orang tua, melainkan ketidaksempurnaan yang terjadi pada masa kehamilan. Contoh faktor yang berasal dari lingkungan adalah keracunan logam berat, misalnya merkuri yang sangat berbahaya bagi saraf.

Perlu diketahui bahwa sebenarnya autisme juga berbeda dengan ADHD (Attention Deficit & Hyperactive Disorder). Kita tak dapat sembarangan men-judge seseorang yang dianggap sedikit ‘berbeda’ sebagai seorang penyandang autisme. Perlu dilakukan diagnosa terlebih dahulu baru dapat menentukan apakah seseorang mengalami gangguan ini ataupun tidak. Maka, sangat penting membedakan antara autisme dengan yang lainnya sehingga diagnosa yang akurat dan penanganan sedini mungkin dapat dilakukan untuk menentukan terapi yang tepat.


Referensi:

http://www.autisme.or.id/
http://episentrum.com/search/asal%20kata%20autis
http://puterakembara.org/

oleh: Amelia
(dimuat dalam majalah PARAMITA edisi 33)

Friday, August 6, 2010

Trip to Tidung Island

Setelah melalui perencanaan selama hampir 6 bulan, dengan sekian banyak perubahan personil dan sebagainya, AKHIRNYA gue dan teman-teman berhasil juga menapakkan kaki ke salah satu dari sekian banyak pulau di Kepulauan Seribu, yaaaa seperti yang sudah disebutkan dengan amat sangat jelas di judul tulisan gue kali ini, Pulau Tidung.


Dari yang awalnya direncanakan pergi bersama (sebut saja) geng, yang terdiri dari 7 orang, akhirnya anggota geng yang ikut cuma DUA ORANG (gue dan Andini Hadiyanti), saudara-saudara! Tapi yah sudahlah yaaaa~ Perjalanan kemarin diikuti oleh 13 orang, 11 cewe dan 2 cowo. Padahal harusnya 14 orang, tapi yang 1 ketinggalan karena telat :’(


Hari sebelum keberangkatan, 4 orang teman menginap di rumah gue, dikarenakan letak rumah gue lebih dekat menuju pelabuhan Muara Angke dibanding dari domisili mereka. Perjalanan ke rumah gue begitu panjang dan cukup melelahkan. Ditambah beberapa teman ketinggalan kereta! Gosh! Setelah semua tiba di rumah gue, belanja sedikit, makan malam, dan mandi. Kamipun memutuskan untuk segera beristirahat, secara besok paginya harus berangkat subuh gitu loh. FYI: kata orang-orang, kapal dari pelabuhan Muara Angke menuju Pulau Tidung berangkat pukul 7an pagi.


Tapi oh tapi, gue dan seorang teman ga bisa tidur, kami ngobrol-ngobrol, online, ngaskus, bahkan sempet narsis mengabadikan kami yang mengenakan piyama sama malam itu, sekalian ngetes kamera plus bikin iri yang gak ikutan, hehehe. Karena malam itu gue juga ngetes kamera dalam bak (FYI: kameranya waterproof loh — pamer mode: ON), jadi talinya basah, dan gue lepas dari kamera untuk dikeringkan dengan hembusan angin AC.

It's me and Andien


Perjalanan diawali tanggal 4 Agustus 2010, kami berlima naik taxi dari rumah gue sekitar jam setengah 7 pagi, dengan ongkos sebesar Rp. 32.000,-. Singkat cerita, kami ber-13 tiba di pelabuhan dan segera masuk ke kapal yang akhirnya berangkat pukul 7.40-an.


Awalnya gue berniat tidur di kapal, tapi posisinya sangat tidak pewe, gerah karena sinar matahari begitu terik menyinari tempat gue duduk, suara mesinpun sangat tak mau berkompromi, kemabukan gue akan lautpun semakin menjadi-jadi. Akhirnya gue dan seorang teman memutuskan untuk naik ke atas kapal untuk melihat pemandangan dan mencari sedikit angin. Ketika gue mengeluarkan kamera di dalam kapal, barulah gue sadari bahwa tali yang ingin gue keringkan semalam itu tertinggal! :’( Tapi yasudalah, jika tak ditemukan tali apapun yang bisa menggantikannya, pinjam tali dari kamera teman saja ketika ingin berfoto dalam air.


Ternyata keadaan di atas kapal lebih baik daripada di bawah, tempat kami duduk. Kami berduapun foto-foto di atas, dan kebetulan ketemu rombongan dari kampus yang sama, kamipun minta difotoin ditawarin foto berdua, masa' iya nolak? HAHA! :D

narsis di atas kapal

Tak lama kemudian, kita berdua pun turun karena harus bayar ongkos kapal seharga Rp.33.000,-/orang. Setelah itu, kami akhirnya naik lagi, melihat pemandangan yang sejauh mata memandang cuma ada langit dan lautan. Tanpa terasa, setelah 2 jam lebih perjalanan, kami tiba di Pulau Tidung! YAY! Akhirnyaaa~


Seturunnya dari kapal, kami segera menuju Losmen Lima Saudara milik Pak Hamid, yang katanya berjarak kurang lebih sejauh 300 m dari kantor lurah. Siang itu di Tidung amat sangat terik, ditambah barang bawaan kami bak orang mau mudik, membuat kami merasa perjalanan siang itu amat sangat jauh.


Setelah tiba di losmen, kami menaruh barang-barang, bergantian ke toilet yang cuma 1, makan siang, tidur siang, nonton TV yang acaranya Keong Racun semua! *sigh* Penginapan itu sebenarnya berkapasitas untuk 6 orang seharga Rp. 300.000,- dan dikenakan biaya Rp. 25.000,-/orang untuk selebihnya, jadi seharusnya kami membayar (Rp. 300.000,- + Rp. 175.000,- =) Rp. 475.000,-. Namun karena kebaikan si Pak Hamid, dan kebetulan hari itu adalah weekdays, maka dia memberri kami potongan harga, kami hanya perlu mebayar Rp. 400.000,-. Pak Hamid, baik ya? LOL~


Makan siang hari itu dibandrol seharga Rp. 15.000,-/orang sama si ibu penduduk setempat yang menawari makanan ke penginapan kami, karena kami capek bin malas untuk keluar lagi, ditambah kelaparan, akhirnya mengiyakan saja tawaran si ibu. Begitu makanan diantar, awalnya kami agak kecewa, kurang worthed rasanya dibanding harganya yang kalo di kantin kampus kami uda bisa makan hedon. Tapi yasudalah dimakan saja yah, pantang mengeluh kalo kata Terapi Kemiskinan ala Pak Hamid. :P *gak ngerti yah? yasudahlah lupakan saja*


Kira-kira pukul 2 siang kami berjalan keluar penginapan, niatnya sih jalan-jalan ke Tidung Kecil, main air di pantai, sambil nunggu sunset di jembatan cinta. Yak! Benar-benar berjalan, dengan jarak tempuh lebih dari setengah pulau, boook! Tentunya kami tak lupa mengabadikan potret perjalanan PANJANG kami dalam camdig, buar gerah tetep narsis euy!

cheese!

Lanjut jalan, *hosh hosh* akhirnya nyampe juga ke jembatan cinta, jembatan yang menyambungkan antara Tidung Besar (tempat kami bermalam) dan Tidung Kecil. Spot yang menyuguhkan pemandangan lautan sebiru langit dan pasir seputih awan *eyaaaa lebay* serasa menghapus rasa lelah kami yang telah berjalan (sekali lagi) amat jauh. Sebelum melewati jembatan, foto-foto dulu dong pastinya, hihiihi. :3

aku suka pantainya :3

Naik jembatan, foto lagi pastinya! Haha, mungkin ada kali ya setiap berapa meter sekali jepret beberapa foto. Pemandangannya yang amazing, wonderful, awesome, beautiful, marvelous, dan sebagainya *bingung harus mengungkapkan dengan kata apa lagi sih saking okenya!* sangat menarik hati siapapun yang melihat untuk mengabadikannya deh.

di depan jembatan cinta <3

pake topi pinjeman :P

lompat di atas jembatan, aheyy :D

Kami berjalan-jalan, berlompat-lompat, berfoto-foto, berpanas-panas, dan berkagum-kagum di atas jembatan cinta selama lebih dari 1 jam (mungkin). Dengan tibanya di ujung jembatan, kamipun tiba di Tidung Kecil, dikawal oleh dua orang anak SD, Fitri dan Sana, warga setempat yang sebelumnya sempat berdialog singkat dengan gue.

Sana : Mau ke mana, kak?

Amel : Ke sana tuh. * nunjuk Tidung Kecil*

Sana : Ikut yah, kak.

Amel : Boleh!

Gue pikir, mereka hanya 2 anak yang ingin mencari teman bermain karena bosan sepulang sekolah. Tampang merekapun seperti anak-anak pada umumnya, gak ada tampang jahat. Mana mungkin gue bilang “Gak boleh ikutan, dek!”. Secara ini kan pulau mereka, tempat di mana ibu mereka mbrojoli mereka, toh. Yaaaah hitung-hitung sekalian nemenin mereka main dan mereka nemenin kami keliling pulau gitu deh. Ini dia penampakan kedua anak itu.

Fitri dan Sana

Sesampai di Tidung Kecil, kami juga foto-foto, sayangnya air sedang pasang, jadi kami tak berani ambil resiko untuk terus menyusuri pasir di pinggir laut yang hanya selebar 1 meteran mungkin, takut air semakin pasang & kami ga bisa balik *amit-amit!*. Setelah berfoto sebentar, kami memutuskan untuk kembali ke jembatan cinta, tanpa tujuan yang jelas dan pasti atas apa yang akan kami lakukan selanjutnya setelah gagal bermain air di pinggir pantai yang kata kedua anak itu bernama Pantai Gadis.

Setibanya di jembatan cinta, lagi, kami mureeeeh melihat rombongan lain ber-bananaboat-ria, akhirnya kami memutuskan untuk menunggu sunset sambil main banana boat juga deh. Nah di sini si kedua anak SD itu mulai nyebelin, mereka mau ikutan banana boat, yah you know lah, minta dibayarin. Aduh dek, kayak gak tau kantong mahasiswa aja yah, ckckck. Awalnya cuma ngomong kayak anak kecil pada umumnya, “mau dong, kak!”, tapi kok rasanya makin lama makin nyebelin yah, setengah ngedesak gitu. Akhirnya kami jadi males deh sama mereka, kirain mah mereka ngintilin kami karena emang mau sekedar jalan-jalan aja, ternyata oh ternyata, ada udang di balik batu! Di saat itulah kami mulai bete sama mereka. Akhirnya dengan rasa yang awalnya gak enak sampai beneran kesel, kami tetap banana boat-an tanpa mempedulikan rajukan mereka. :P Dikarenakan beberapa alasan, 2 orang teman kami tak ikut naik banana boat, jadi hanya kami ber-11 yang naik, seharga Rp. 300.000,-/11orang.

pose di atas banana boat

Setelah ber-bananaboat-ria, kami melihat sunset dan berfoto-foto, lagi. Lalu berjalan pulang ke penginapan dengan menahan rasa kedinginan akibat nyebur-pasca-bananaboat, tentunya. Foto sunset di kamera gue cuma 1, karena kamera lowbatt dan sayangnya agak blur! :( Kebanyakan foto sunset ada di kamera teman dan akan gue update menyusul di sini.

Setelah kembali ke penginapan, kami segera mengantri giliran untuk mandi. Kamar mandi cuma 1 gitu lohhhh. Selesai mandi, kami segera melahap BBQ yang udah dipanggangin, ikan baronang dan cumi goreng tepung. Lalu kami nonton TV dan main kartu, gak mau kalah berisik sama kamar sebelah yang berisiknya minta ampun. Malam itu, gue benar-benar teler karena kurang tidur dan terlampau lelah, maka gue tidur dengan amat sangat nyenyak, tanpa mimpi dan tanpa mendengar suara apapun, padahal kata teman-teman, ketika tidur, mereka mendengar suara tetangga (yang isinya cowo-cowo) pada main kartu dengan taruhan yang suaranya menggelegar amat heboh, ditambah kucing di depan losmen yang berantem dan suaranya sangat annoying.


Paginya kami bangun, beberapa di antara kami sarapan popmie, nasi uduk, roti, susu, tapi gue hanya melahap cookies karena gak napsu makan. Selesai sarapan, cuci muka, sikat gigi, dan packing untuk sekalian pulang, kami menuju Hasbi Group, tempat kami menyewa perahu dan peralatan snorkling. Perjalanan kami pagi itu ditemani rintik hujan, namun hujan itu tak menjadi halangan bagi kami untuk snorkling! :P


Setelah mencoba sepatu katak dan peralatan snorkling lainnya, kami segera menaiki kapal menuju Pulau Karang Beras dan Pulau Aer untuk bersnorkling. Peralatan snorkling seharga Rp. 35.000,-/orang, dan biaya sewa perahu seharga Rp. 400.000,-. Perjalanan menuju pulau-pulau tersebut tidak sebentar, maka untuk mengusir mati gaya, kami berfoto dengan perlengkapan snorkling doooong.

Syukurnya kamera yang gue bawa kala itu adalah kamera yang waterproof! :D Jadi, kami bisa mengabadikan kegiatan kami di dalam laut dan sedikit potret pemandangan di dalam air, hehehehee.

snorkling time!

Ini beberapa ikan yang beruntung sempat terpotret.

Terumbu karang di dasar laut cukup beragam loh, bahkan ada yang berbentuk LOVE! So sweet, unyuuu~ unyuuu~

Setelah snorkling, kami menuju Pulau Pramuka untuk mandi, makan siang, dan naik kapal untuk kembali ke pelabuhan Muara Angke. Di sana kami mandi di tempat pemandian umum seharga Rp. 2000,-/orang. Kemudian makan nasi goreng telur seharga Rp. 7.000,- dan es teh manis seharga Rp. 3.000,-. Setelah makan, beristirahat, dan beberapa teman sholat, kami menuju kapal untuk pulang, tentunya dengan ongkos yang sama dengan saat pergi, yaitu Rp. 33.000,-.


Di dalam kapal selama perjalanan pulang, gue mencoba tidur, tapi sangat amat tidak nyenyak, suara mesin jauh lebih berisik, posisi duduk jauh lebih gak pewe, panas terik siang bolong pula! Maka gue hanya berusaha memejamkan mata saja dan berharap agar tidak mabuk laut, lagi.


Tiba di pelabuhan Muara Angke, gue dan beberapa teman segera anik angkot B-01 menuju Grogol, yang ternyata seharga Rp. 5.000,- yang kata si abangnya + Rp. 1.000,- karena naiknya dari dalam pelabuhan jadi harus bayar. Ntah kami dibohongi atau tidak, karena dari yang kami baca di internet, angkot itu hanya seharga Rp. 4.000,-/orang sampai ke Grogol. Tapi yasudalah, kaminya juga sudah cukup lelah.


Setelah turun dari angkot B-01 di Grogol, saya berniat naik metromini menuju lampu merah Biak, saya tak ingat betul nomor metromini yang harus saya naiki, akhirnya saya naik 92, DAN TERNYATA saudara-saudara! Setelah bertanya ke si bang kenek, saya baru sadar kalau salah naik, harusnya saya naik 91! Maka saya turun di tengah jalan melewati macetnya daerah roxy beserta panasnya kota Jakarta lengkap dengan polusi yang tak-perlu-didefinisikan-lagi-kau-pasti-tahu, dan harus jalan kembali ke tempat awal saya naik si 92 itu! Karena merasa tak enak dengan si kenek kalo gak bayar, akhirnya saya bayar saja Rp. 1.000,-, padahal di kenek sih bilangnya bayarnya ya suka rela saja.


Setelah berjalan menuju tempat saya salah naik sebelumnya, beberapa kali metromini 91 lewat begitu saja di depan saya, gak ada yang berhenti. Tapi akhirnya saya naik juga, membayar Rp. 2.000,- setelah beberapa lewat begitu saja dan gue sudah tak kuasa untuk mengejarnya saking berat barang bawaan dan lelahnya diri ini. Turun di lampu merah Biak, sedikit berjalan, saya naik ke mikrolet M-10 menuju Jembatan Lima dan membayar lagi seharga Rp. 2.000,-.


Perjalanan kali ini memang lebih murah dibanding perjalanan saya sebelumnya dengan rombongan lain yang menggunakan paket, selain karena kami backpacker-an, nampaknya ini juga dikarenakan kami pergi pada saat weekdays. Berikut rincian pengeluaran saya selama 2 hari tersebut.


- ongkos taxi (32rb / 5 org) : 6500
- ongkos kapal PP (33rb x 2) : 66000
- makan siang + BBQ (150rb+100rb / 13 org) : 20000
- penginapan (400rb / 13 org) : 30000
- banana boat (300rb / 11 org) : 27500
- sewa kapal (400rb / 13 org) : 31000
- snorkling : 35000
- mandi : 2000
- makan + minum : 10000
- angkot pulang : 10000
TOTAL Rp. 238.000,-

Ada beberapa pelajaran yang bisa gue petik dari petualangan kali ini:

1. Jangan lupa bawa tali kamera.

2. Jangan mudah percaya dengan tampang polos anak-anak.

3. Pergi pas weekdays lebih murah.

4. Sebelum naik angkot, tanya dulu biar gak salah naik.


Sekian dulu cerita gak jelas dari gue. Ntah kenapa gue tulis tentang perjalanan kali ini, tumben sekali loh, mungkin supaya selalu terkenang, hheehehe. Sampai jumpa di tulisan gue selanjutnya yaaaa! :)